DENGAN BERGURU KEPADA SEORANG ULAMA BESAR, DIA BISA BERKATA "HABIS GELAP TERBITLAH TERANG"

Dalam rangka mengenang seorang pahlwan nasional, Raden Ajeng Kartini, dengan segala perjuangan dan pemikirannya dalam memajukan kaum wanita pada masa penjajahan, tidak lepas dari sosok yang dikagumi dan diteladaninya. Adalah seorang ulama besar dari semarang yang bernama KH. Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani atau dikenal dengan Mbah saleh darat, adalah salah seorang yang menuliskan sosok dari pada Raden kartini dalam sebuah karyanya yang monumental, yaitu kitab tafsir Faidul Rahman.

Bumiputra adalah istilah yang sering disebutkan oleh Raden Kartini dalam rangka memperlihatkannya kepada dunia bahwa dia salah seorang yang menekuni agama dan mempunyai dedikasi dalam menjalankan roda pemerintahan demi kebangkitan dan kemajuan daripada rakyat bumiputra. Dari pemikiran keagamaannya, Raden Kartini adalah bahwa dia merasa ada kekurangan ketika mempelajari Al-Qur’an hanya sebatas mengeja dan membaca. Ia mengumpamakan bahwa Al-Qur’an jika hanya dipelajari dari cara membacanya, akan menjadikan umat Islam sendiri tidak mengatahui mutiara dan hikmah yang terkandung Al-Qur’an. seperti yang dialaminya, ketika dia meminta kepada guru ngajinya untuk mengartikan Al-Qur’an, malah dia dimarahinya.

Ketika itu pula, kartini yang pandai bahasa asing seperti bahsa Belanda, Perancis, dan bahasa Inggris, gelisah dan ingin berontak, karena merasa belum sempurna memeluk Islam kalau dia tidak mengetahui isi kandungan Al-Qur’an. Dari situ, Kartini seorang perempuan muda yang tidak pernah lelah belajar bermasyarkat dan bergama, mencari seroang guru bahasa arab atau guru yang bisa menafsirkan Al-Qur’an. pada saat itulah, kartini yang berumur 20 tahun telah mengungkapkan kegelisahannya itu ke dalam tulisan yang menjadi sebuah surat yang dilayangkan kepada Stella EH Zeehandelaar pada tanggal 6 November 1899. Tulisan suratnya itu, “Al-Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apapun juga. Disini orang juga tidak tahu bahasa Arab. Disini orang diajari membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap itu pekerjaan gila, mengajari orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya”.

Itulah kritikan kuat dari kartini terhadap pendidikan dan pembelajaran agama telah nampak pada masa penjajahan atau pada akhir abad 19. Sekaligus menjadi kepedulian Kartini terhadap minat kuat untuk belajar isi agama (Al-Qur’an). karena pada masa itu belum ada tafsir Al-Qur’an yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa melayu atau jawa. Kemudian kartini menjadi penasaran, sehingga melanjutkan tulisan kegelisahannya dalam surat itu: “sama halnya seperti kamu mengajar saya membaca buku bahasa inggris yang harus aku hafal seluruhnya, tanpa kamu terangkan maknanya kepada saya. Kalau saya mau mengenal dan memahami agama saya, maka saya harus pergi ke negeri arab untuk mempelejari bahasanya disana. Walaupun tidak saleh, kan boleh juga jadi orang baik hati. Bukankah demikian Stella?”

Dari tulisan dalam suratnya, tampak jelas bahwa kartini sangat tidak berdaya akan bahasa arab. Padahal agama yang dipeluknya bersumber pada kitab suci yang berbahasa Arab. Akhirnya kartini merasa rindu dengan dengan negeri arab untuk belajar kesana. Tetapi dia merasa, bahwa itu tidak mungkin. Karena cita-citanya ingin belajar ke Belanda yang bahsanya sudah dia kuasai, gagal dan digantikan oleh Agus Salim.

Maka kartinipun menanti kehadiran orang jawa yang pernah belajar di negeri Arab, agar bisa menjelaskan kandungan Al-Qur’an. Akhirnya kartini bertemu dengan Mbah Saleh Darat sebelum pada tahun 1901, menurut sebagian ahli sejarah. Mbah Saleh daratlah yang mampu membuka wawasan Islam kartini. Al-Qur’an yang demikian suci itu, dibuka maknanya sehingga Kartini memhaminya.


Penulis : Ru'yat Ismail, Lc.,M.Hum.
Humas MIN 14 Al-Azhar Asy-Syarif

1 Komentar

Makin menambah hadanah literasi tentang bagaimana wanita harus maju. Mantap kupasannya.selamat berkarya dan teruslah berkarya teman...

Komentari Tulisan Ini

Iklan

Buku Panduan
-->